ads
Kamis, 11 Februari 2016

SUPANGAT BUPATI PEMALANG YANG TERLUPAKAN
Oleh: Ilham Nur Utomo

Revolusi sosial yang melanda Karesidenan Pekalongan pada akhir tahun 1945 menyebabkan terjadinya gejolak politik yang bersifat lokal. Revolusi sosial tersebut dikenal juga sebagai Peristiwa Tiga Daerah, yaitu suatu peristiwa dalam sejarah revolusi Indonesia yang terjadi antara Oktober sampai Desember 1945 di wilayah Keresidenan Pekalongan Jawa Tengah (Kabupaten Brebes, Tegal dan Pemalang), di mana seluruh elite birokrat, pangreh praja (residen, bupati, wedana dan camat), dan sebagian besar kepala desa “didaulat” dan diganti oleh aparat pemerintahan baru yang terdiri dari aliran-aliran Islam, sosialis dan komunis.[1]  Pergolakkan tersebut juga diartikan sebagai suatu revolusi untuk mengubah struktur masyarakat kolonial atau feodal menjadi suatu susunan masyarakat yang lebih demokratis. Pejabat pemerintahan pada masa itu dianggap telah menyelewengkan jabatannya dan sebagai aparat pro kolonial. Politik menjadi salah satu jalan untuk memperjuangkan keinginan rakyat yang kemudian menyebabkan pola-pola tersendiri terhadap kondisi politik khususnya di Pemalang.
Pada masa revolusi sosial di Pemalang, muncul tokoh berpengaruh bernama Supangat. Pembawaan yang jujur, sabar, dan dapat merangkul semua golongan menyebabkan para pejuang revolusioner pada masa itu menyebutnya sebagai “bapaknya rakyat”. Pada awalnya, Supangat bekerja sebagai mantri juru rawat senior di Pemalang. Jiwa nasionalis yang dimiliki membawa supangat dipercaya sebagai salah satu pemimpin Pekope (penolong korban perang). Pekope tidak hanya berfungsi sebagai penolong dan perawat korban peperangan, melainkan juga menjadi tempat pertemuan orang-orang bawah tanah sekaligus sebagai tempat pertemuan dan beristirahat bagi para kadernya yang menjadi buruan Kanpetai di Jakarta, Solo dan Jawa Timur.[2] Eksistensi Supangat dalam dunia politik pada masa revolusi sosial juga terlihat ketika rumahnya digunakan sebagai markas API (Angkatan Pemuda Indonesia) sebelum akhirnya pindah ke bekas kantor wakil residen di sebelah timur Alun-alun Pemalang. API merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang politik yang berhasil dirangkul oleh Supangat. Beberapa organisasi di Pemalang seperti Laskar Pemuda Tionghoa, serta golongan lenggaong, santri dan veteran 1926 juga berhasil dirangkul oleh Supangat untuk mengorganisir revolusi sosial yang terjadi agar lebih terarah.
Revolusi sosial di Pemalang berjalan dengan lebih terarah dan terorganisir, karena adanya peran Supangat yang mendapat dukungan dari Veteran 1926 (eks-Digulis), Santri Rakyat, gerakkan bawah tanah dan Laskar Pemuda Tionghoa. Hal tersebut menjadi ciri khas yang membedakan pergolakkan sosial di Pemalang dari Tegal dan Brebes. Supangat dikenal sebagai orang yang luwes dan tulus berkat pengorbanannya sebagai anggota Pekope. Ketika di Bandung Supangat aktif sebagai anggota Partindo.[3] Keaktifan Supangat dalam berorganisasi membuatnya semakin dikenal dan disukai karena memiliki pengalaman yang cukup dalam bidang sosial-politik. Sikap positif yang dimiliki tersebut tidak mengherankan jika Supangat disebut sebagai “bapaknya rakyat” oleh para pejuang revolusioner di Pemalang.
Pada hari Jumat tanggal 19 Oktober 1945, Bupati Pemalang R. Toemenggoeng Arjo Rahardjo didaulat oleh rakyat dan dimasukkan ke dalam penjara bersama dengan para pejabat priyayi.[4] Peristiwa tersebut mengawali terjadinya kekosongan kekuasaan di Pemalang, sehingga pada hari Sabtu tanggal 20 Oktober 1945 Supangat diangkat menjadi Bupati Pemalang yang baru, melalui Rapat Umum di Alun-alun Pemalang. Ketika menjabat bupati, Supangat masih bekerja dengan ciri khasnya yang mampu merangkup berbagai golongan. Kelompok lenggaong dapat dirangkul oleh Bupati Supangat, karena ia mengetahui fungsi lenggaong di dalam masyarakat pedesaan. Supangat berhasil menyatukan rakyat di bawah pemerintahan revolusioner serta menyerukan kepada rakyat bahwa tidak diperbolehkan lagi adanya tindakkan anarkis yang kemudian dipatuhi oleh rakyat. Para lenggaong yang berhasil dirangkul tidak melakukan tindakkan anarkis yang berarti. Pembangunan kembali perekonomian menjadi prioritas Bupati Supangat selanjutnya.
Supangat merupakan orang yang dekat dengan tokoh bawah tanah dan kontribusinya dalam Peristiwa Tiga Daerah dapat disejajarkan dengan Sarjio, Widarta dan K. Midjaya.[5] Pengaruh golongan komunis cukup besar dalam Peristiwa Tiga Daerah yang menyebabkan jabatan-jabatan penting (Ketua GP3D, Bupati Pemalang dan Kepala Desa) diduduki oleh orang-orang berpaham komunis. Besarnya pengaruh tokoh-tokoh komunis menyebabkan kekhawatiran bagi TKR dan kelompok-kelompok masyarakat di Pekalongan. Kemudian pada tanggal 14 Desember 1945, Resimen Tentara Keamanan Rakyat dibantu kelompok-kelompok Muslim di Kota Pekalongan menangkap Residen Komunis yang baru menjabat beserta staff yang bekerja di Tiga Daerah dan pada tanggal 23 Desember 1945, saat kunjungan perjalanan kepresidenan di Pekalongan sebagai akhir dari kunjungan keliling Jawa dengan kereta api,Widarta, Supangat dan Muroso ditangkap oleh elemen-elemen pemuda Muslim setempat yang menentang gerakan Tiga Daerah pada waktu digelar rapat di Pekalongan.[6] Digantikannya residen Pekalongan dengan tokoh komunis bawah tanah menyebabkan pertentangan diantara golongan komunis dan santri. Pertentangan abangan-santri terlibat di sini.[7] Akhir bulan Desember menjadi detik-detik akhir Supangat sebagai bupati di Kabupaten Pemalang dan wafat pada tahun 1958 di Ambarawa, karena penyakit kuning. Jabatan tersebut kemudian digantikan oleh Kyai Makmur, seorang tokoh Hisbullah Pemalang.
Supangat merupakan bupati “pilihan rakyat” yang disukai oleh rakyat pada masa revolusi sosial. Keluwesan dan ketulusannya dalam memperjuangkan hak-hak rakyat di Pemalang menjadi nilai positif tersendiri. Namun kegigihannya tersebut sebagai bupati Pemalang “pilihan rakyat” tidak tercatat dalam buku yang diterbitkan oleh Pemkab Pemalang.[8] Kerancuan semakin kentara ketika masa akhir kepemimpinan R. Toemenggoeng Arjo Rahardjo ditulis pada tahun 1946. Perjuangan Supangat sebagai “bapaknya rakyat” serasa dilupakan oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Melaui sikap positif yang ditunjukkan oleh Supangat seharusnya dapat diteladani oleh masyarakat sekarang dan esok. Pesan Bung Karno tentang JAS MERAH hanya menjadi kata pemanis belaka dalam kehidupan masyarakat kekinian, karena belum bisa memanfaatkan sejarah sebagai sesuatu yang berguna bagi kehidupan sehari-hari.


Referensi:
Aman, Revolusi Sosial Di Brebes, (Yogyakarta: Ombak, 2015).

Lucas Anton, Pristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989).

Panitia Peringatan Hari Jadi Ke-439 Kabupaten Pemalang Tahun 2014, Riwayat/Sejarah Pemalang, (Pemalang: Pemkab Pemalang, 2014).

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: UGM Press, 2011).

Lucas, Anton, Radikalisme Lokal Oposisi dan Perlawanan Terhadap Pendudukan Jepang di Jawa (1942-1945), (Yogyakarta: Syarekat, 2012).




[1]   Aman, Revolusi Sosial Di Brebes, (Yogyakarta: Ombak, 2015), hlm. 30.
[2] Lucas, Anton, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Dalam Revolusi, (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 66.
[3] Lucas, Anton, Radikalisme Lokal Oposisi dan Perlawanan Terhadap Pendudukan Jepang di Jawa (1942-1945), (Yogyakarta: Syarekat, 2012), hlm. 471.
[4]   Lucas, Anton, op.cit., hlm 341.
[5] Sarjio, Widarta dan K. Midjaya adalah tokoh-tokoh penting dalam Peristiwa Tiga Daerah yang mampu menggerakkan masa dan memiliki jabatan  di Tiga Daerah.
[6]   Lucas, Anton, op.cit., hlm. 99.
[7] Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: UGM Press, 2011), hlm. 328.
[8] Lihat: Panitia Peringatan Hari Jadi Ke-439 Kabupaten Pemalang Tahun 2014, Riwayat/Sejarah Pemalang, (Pemalang: Pemkab Pemalang, 2014).

0 komentar: