SUPANGAT
BUPATI PEMALANG YANG TERLUPAKAN
Oleh: Ilham Nur Utomo
Revolusi sosial yang
melanda Karesidenan Pekalongan pada akhir tahun 1945 menyebabkan terjadinya
gejolak politik yang bersifat lokal. Revolusi sosial tersebut dikenal juga
sebagai Peristiwa Tiga Daerah, yaitu suatu peristiwa dalam sejarah revolusi
Indonesia yang terjadi antara Oktober sampai Desember 1945 di wilayah
Keresidenan Pekalongan Jawa Tengah (Kabupaten Brebes, Tegal dan Pemalang), di
mana seluruh elite birokrat, pangreh
praja (residen, bupati, wedana dan camat), dan sebagian besar kepala desa
“didaulat” dan diganti oleh aparat pemerintahan baru yang terdiri dari
aliran-aliran Islam, sosialis dan komunis.[1] Pergolakkan tersebut juga diartikan sebagai
suatu revolusi untuk mengubah struktur masyarakat kolonial atau feodal menjadi
suatu susunan masyarakat yang lebih demokratis. Pejabat pemerintahan pada masa
itu dianggap telah menyelewengkan jabatannya dan sebagai aparat pro kolonial.
Politik menjadi salah satu jalan untuk memperjuangkan keinginan rakyat yang
kemudian menyebabkan pola-pola tersendiri terhadap kondisi politik khususnya di
Pemalang.
Pada masa revolusi
sosial di Pemalang, muncul tokoh berpengaruh bernama Supangat. Pembawaan yang
jujur, sabar, dan dapat merangkul semua golongan menyebabkan para pejuang
revolusioner pada masa itu menyebutnya sebagai “bapaknya rakyat”. Pada awalnya,
Supangat bekerja sebagai mantri juru rawat senior di Pemalang. Jiwa nasionalis
yang dimiliki membawa supangat dipercaya sebagai salah satu pemimpin Pekope (penolong korban perang). Pekope
tidak hanya berfungsi sebagai penolong dan perawat korban peperangan, melainkan
juga menjadi tempat pertemuan orang-orang bawah tanah sekaligus sebagai tempat
pertemuan dan beristirahat bagi para kadernya yang menjadi buruan Kanpetai di
Jakarta, Solo dan Jawa Timur.[2]
Eksistensi Supangat dalam dunia politik pada masa revolusi sosial juga terlihat
ketika rumahnya digunakan sebagai markas API (Angkatan Pemuda Indonesia)
sebelum akhirnya pindah ke bekas kantor wakil residen di sebelah timur
Alun-alun Pemalang. API merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang politik
yang berhasil dirangkul oleh Supangat. Beberapa organisasi di Pemalang seperti
Laskar Pemuda Tionghoa, serta golongan lenggaong, santri dan veteran 1926 juga
berhasil dirangkul oleh Supangat untuk mengorganisir revolusi sosial yang
terjadi agar lebih terarah.
Revolusi sosial di
Pemalang berjalan dengan lebih terarah dan terorganisir, karena adanya peran
Supangat yang mendapat dukungan dari Veteran 1926 (eks-Digulis), Santri Rakyat,
gerakkan bawah tanah dan Laskar Pemuda Tionghoa. Hal tersebut menjadi ciri khas
yang membedakan pergolakkan sosial di Pemalang dari Tegal dan Brebes. Supangat
dikenal sebagai orang yang luwes dan tulus berkat pengorbanannya sebagai
anggota Pekope. Ketika di Bandung Supangat aktif sebagai anggota Partindo.[3]
Keaktifan Supangat dalam berorganisasi membuatnya semakin dikenal dan disukai
karena memiliki pengalaman yang cukup dalam bidang sosial-politik. Sikap
positif yang dimiliki tersebut tidak mengherankan jika Supangat disebut sebagai
“bapaknya rakyat” oleh para pejuang revolusioner di Pemalang.
Pada hari Jumat tanggal
19 Oktober 1945, Bupati Pemalang R. Toemenggoeng Arjo Rahardjo didaulat oleh
rakyat dan dimasukkan ke dalam penjara bersama dengan para pejabat priyayi.[4]
Peristiwa tersebut mengawali terjadinya kekosongan kekuasaan di Pemalang,
sehingga pada hari Sabtu tanggal 20 Oktober 1945 Supangat diangkat menjadi
Bupati Pemalang yang baru, melalui Rapat Umum di Alun-alun Pemalang. Ketika
menjabat bupati, Supangat masih bekerja dengan ciri khasnya yang mampu
merangkup berbagai golongan. Kelompok lenggaong
dapat dirangkul oleh Bupati Supangat, karena ia mengetahui fungsi lenggaong
di dalam masyarakat pedesaan. Supangat berhasil menyatukan rakyat di bawah
pemerintahan revolusioner serta menyerukan kepada rakyat bahwa tidak
diperbolehkan lagi adanya tindakkan anarkis yang kemudian dipatuhi oleh rakyat.
Para lenggaong yang berhasil dirangkul tidak melakukan tindakkan anarkis yang
berarti. Pembangunan kembali perekonomian menjadi prioritas Bupati Supangat selanjutnya.
Supangat merupakan
orang yang dekat dengan tokoh bawah tanah dan kontribusinya dalam Peristiwa
Tiga Daerah dapat disejajarkan dengan Sarjio, Widarta dan K. Midjaya.[5]
Pengaruh golongan komunis cukup besar dalam Peristiwa Tiga Daerah yang
menyebabkan jabatan-jabatan penting (Ketua GP3D, Bupati Pemalang dan Kepala
Desa) diduduki oleh orang-orang berpaham komunis. Besarnya pengaruh tokoh-tokoh
komunis menyebabkan kekhawatiran bagi TKR dan kelompok-kelompok masyarakat di
Pekalongan. Kemudian pada tanggal 14 Desember 1945, Resimen Tentara Keamanan
Rakyat dibantu kelompok-kelompok Muslim di Kota Pekalongan menangkap Residen
Komunis yang baru menjabat beserta staff yang bekerja di Tiga Daerah dan pada
tanggal 23 Desember 1945, saat kunjungan perjalanan kepresidenan di Pekalongan
sebagai akhir dari kunjungan keliling Jawa dengan kereta api,Widarta, Supangat
dan Muroso ditangkap oleh elemen-elemen pemuda Muslim setempat yang menentang
gerakan Tiga Daerah pada waktu digelar rapat di Pekalongan.[6]
Digantikannya residen Pekalongan dengan tokoh komunis bawah tanah menyebabkan
pertentangan diantara golongan komunis dan santri. Pertentangan abangan-santri terlibat di sini.[7]
Akhir bulan Desember menjadi detik-detik akhir Supangat sebagai bupati di
Kabupaten Pemalang dan wafat pada tahun 1958 di Ambarawa, karena penyakit
kuning. Jabatan tersebut kemudian digantikan oleh Kyai Makmur, seorang tokoh
Hisbullah Pemalang.
Supangat merupakan
bupati “pilihan rakyat” yang disukai oleh rakyat pada masa revolusi sosial.
Keluwesan dan ketulusannya dalam memperjuangkan hak-hak rakyat di Pemalang
menjadi nilai positif tersendiri. Namun kegigihannya tersebut sebagai bupati
Pemalang “pilihan rakyat” tidak tercatat dalam buku yang diterbitkan oleh
Pemkab Pemalang.[8]
Kerancuan semakin kentara ketika masa akhir kepemimpinan R. Toemenggoeng Arjo
Rahardjo ditulis pada tahun 1946. Perjuangan Supangat sebagai “bapaknya rakyat”
serasa dilupakan oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Melaui sikap
positif yang ditunjukkan oleh Supangat seharusnya dapat diteladani oleh
masyarakat sekarang dan esok. Pesan Bung Karno tentang JAS MERAH hanya menjadi
kata pemanis belaka dalam kehidupan masyarakat kekinian, karena belum bisa
memanfaatkan sejarah sebagai sesuatu yang berguna bagi kehidupan sehari-hari.
Referensi:
Aman,
Revolusi Sosial Di Brebes, (Yogyakarta:
Ombak, 2015).
Lucas
Anton, Pristiwa Tiga Daerah: Revolusi
dalam Revolusi, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989).
Panitia
Peringatan Hari Jadi Ke-439 Kabupaten Pemalang Tahun 2014, Riwayat/Sejarah Pemalang, (Pemalang: Pemkab Pemalang, 2014).
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta:
UGM Press, 2011).
Lucas,
Anton, Radikalisme Lokal Oposisi dan
Perlawanan Terhadap Pendudukan Jepang di Jawa (1942-1945), (Yogyakarta: Syarekat,
2012).
[1] Aman, Revolusi
Sosial Di Brebes, (Yogyakarta: Ombak, 2015), hlm. 30.
[2] Lucas, Anton, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Dalam
Revolusi, (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 66.
[3] Lucas, Anton, Radikalisme Lokal Oposisi dan Perlawanan
Terhadap Pendudukan Jepang di Jawa (1942-1945), (Yogyakarta: Syarekat,
2012), hlm. 471.
[5] Sarjio,
Widarta dan K. Midjaya adalah tokoh-tokoh penting dalam Peristiwa Tiga Daerah
yang mampu menggerakkan masa dan memiliki jabatan di Tiga Daerah.
[8] Lihat: Panitia Peringatan Hari
Jadi Ke-439 Kabupaten Pemalang Tahun 2014, Riwayat/Sejarah
Pemalang, (Pemalang: Pemkab Pemalang, 2014).
0 komentar:
Posting Komentar